Selasa, 28 Februari 2012

Membuat sambutan

Mungkin kelihatannya nie sepele, tpi bwt gw, susahnya bukan maen bro.. Gw ngiri sama Soekarno yg bisa pidato ceplas-ceplos tanpa teks. Padahal, mbah google nyampe pusing gw tanyain mulu. Tapi, inilah realita. Gak semua orang bisa bikin pidato. Tpi, krn jga tuntutan guru gw, terpaksa gw suruh mbah google mikir agak keras bwt bantuin gw. Apalagi, pidato yg gw bawain jga pidato rese' (pidato ketua panitia pengukuhan guru besar). Dari emak, bapak, nyampe dukun paling pinter sejagat raya alias mbah google gw ubek2. Nyatanya, NIHIL. Gak tau gwnya yg oon atau emg mbah google gak punya referensi bwt bantuin gw. So, sorry deh buat temen2 gw klo hasilnya bsk gak memuaskan. Internet gw udh gak nampol bwt gw nyari itu pidato. Gw buat sebisanya aja. Perkara jadi atau gak, serahin aja sama Tuhan yang di atas.

Jumat, 24 Februari 2012

Syair cinta untuk kekasih


Sayangku,
kenalilah musim hujan yang basah
dan kemarau yang meranggaskan daun-daun kering
di sepanjang hari dalam dua belas purnama
karena cintaku bersemi di dua musim
kenalilah gelisah angin di antara buluh-buluh bambu
yang meliuk ke kanan dan meliuk ke kiri
yang menggemerisik di antara sunyi
karena ada bisikan tentang gelisahku
ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni
ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya
merah membara dan kadang-kadang lembayung
kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku
sayangku,
malam-malamku adalah catatan tentang cinta
dinginnya menghangatkan dan memberi aroma rasa
aku jejaki purnama yang tenggelam di antara awan
dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

Nasihat Bunda


Nak, jadi perempuan kita harus pintar
Agar tidak mudah terpedaya rayuan gombal para pria
Nak, kamu harus bisa bekerja, nafkahi dirimu sendiri
Supaya tidak menggantungkan hidup mu pada orang lain
Percantik dirimu, bercermin setiap hari
Bukan untuk bergenit-genit pada lelaki
Tapi supaya kamu lebih percaya diri
Dan ingat, rendah hati dan jangan jadi lupa diri, ya?
Nak, jika nanti kamu punya suami
Pastikan ia setia dan mencintaimu dengan segenap hati
Jaga cinta kalian dan penuhi hatinya dengan dirimu
Supaya tidak ada ruang untuk wanita lain mengisi kekosongannya
Nak, bunda menyayangimu
Cuma cinta yang bunda punya
Jaga dirimu baik-baik ya?
Jangan mau disakiti dan jangan pernah menyakiti
Bunda tahu kamu pintar
Bunda tahu kamu sabar
Bunda bangga bisa membesarkanmu
Dan memberi sepotong cinta yang bunda punya
?..
Sore ini langit sangat indah berwarna biru
Dan bunda punya lebam berwarna sama di sekujur tubuhnya
?..

Rabu, 22 Februari 2012

Teks pembawa acara perpisahan sekolah

Buat yang mau nge-mc, mungkin ini isa dijadikan sedikit acuan.


Assalamualaikum wr.wb.
bismillahirrohmairrohim…
(muqodimah dalam b.arabnya, buat sendiri)
Yth. almukarom KH. X
Yth. (jika ada pejabat yang lebih tinggi)
Yth. Kepala MI/Sd/SMP/Mts/SMA terserah…, Drs. X
Dewan guru, bapak2, ibu2 para undangan, serta anak2ku sekalian yang saya sayangi.
Pada kesempatan yang bahagia ini, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan berkahnya sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul dalam rangka (X).
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw.  Kepada keluarga beliau,  para sahabat serta kaum muslmin yang senantiasa beristiqomah dalam menjalankan syariat Islam hingga akhir zaman nanti.
Hadirin sekalian yang dirahmati Allah, adapun susunan acara pada pagi ini adalah sebagai berikut
  1. Pembukaan
  2. Pembacaan ayat suci Alquran
  3. Pembacaan sholawat nabi
  4. Sambutan2
  5. Prosesi wisuda
  6. Istirahat
  7. Mauidhoh hasanah
  8. Doa penutup
Hadirin sekalian, demi menghemat waktu marilah kita buka acara ini dengan bacaan basmallah bersama2.
Hadirin sekalian, berikutnya dalah pembacaan kalam Ilahi yakni QS… Ayat… yang akan dibawakan oleh ananda/saudara X. kepadanya dipersilakan.
Maha benar Allah atas segala firmanNya. Terimakasih disampaikan. Demikian tadi pembacaan ayat suci Alquran, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Beralih ke acara berikut, yakni pembacaan sholawat nabi yang akan dipimpin oleh ananda/saudara X… kepadanya dipersilakan. Dan kepada hadirin saya minta untuk berdiri sejenak.
Hadirin sekalian yang dirahmati Allah, acara selanjutnya adalah sambutan2. Sambutan pertama akan disampaikan oleh , ketua panitia. Kepada bapak X, dipersilakan.
Hadirin sekalian sambutan kedua akan disampaikan oleh perwakilan siswa kelas 5. Kepada ananda X, dipersilakan.
Selanjutnya adalah sambutan dari perwakilan wisudawan, kepada ananda X, dipersilakan.
Terimakasih saya sampaikan. Sambutan selanjutnya akan disampaikan oleh kepala MI, kepada bapak Drs. X, dipersilakan.
Terimakasih saya sampaikan. Hadirin sekalian. Kini kita memasuki acara inti, yakni prosesi wisuda siswa-siswi kelas 6 MI yang akan dipandu oleh bapak/ibu/saudara X dan akan dilanjutkan dengan acara istirahat. Kepadanya dipersilakan.
…………………………………………………………………………………….  (jika prosesi wisuda dipimpin MC secara langsung, kalimatnya silahkan disesuaikan sendiri sesuai kebutuhan)………………………..
Bapak2, ibu2 sekalian yang dirahmati Allah, kini tibalah kita pada acara mauidhoh hasanah yang akan disampaikan oleh almukarom KH. X. kepada beliau dipersilakan.
Hadirin rahimakumullah, demikian tadi mauidhoh hasanah yang telah kita ikuti bersama. Semoga bermanfaat bagi kita semua sebagai umat Islam. Amin ya robbal alamin.
Hadirin sekalian, tibalah kita dipenghujung acara yakni pembacaan doa penutup. Kepada bapak X, kami persilakan.
Hadirin yang saya hormati, acara demi acara telah kita lalui bersama. Semoga apa yang telah kita lalui diterima oleh Allah swt. Saya atas nama panitia dan selaku pembawa acara mengucapkan terimakasih atas perhatiannya. Dan mohon maaf apabila terdapat hal2 atau kata2 yang kurang berkenan di hati hadirin sekalian.
Terimakasih, wabillahi taufiq wal hidayah,
Wassalamualaikum wr.wb.

Selasa, 21 Februari 2012

Di Persimpangan Pantura


Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan? Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum.
Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi. Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar seratus delapan puluh derajat? Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya.
”Untung kamu masih bau kencur…” Istri Lik Sol ketus memarahiku sambil panjatkan seribu syukur. Benih suaminya tak bisa membuahiku. Bibirnya mencang-mencong tak mengerti apa yang menarik dari tubuh kurus keringku.
Perempuan-perempuan muda penumbuk padi jadi aneh memandangiku. Tatapan mereka seperti menelanjangi dari kepala sampai kaki. Alu besar tetap dihunjamkan ke dalam lumpang, tapi lirikan dan bisikan mereka tak bisa mengelabuiku. Pemuda-pemuda desa menggodaku dengan kata-kata kotor. Mata mereka isyaratkan birahi.
Tak tahu aku ada kesepakatan apa antara simbok dengan keluarga Lik Sol, tapi sejak saat itu tak pernah lagi aku melihat Lik Sol berkeliaran di desa. Kata orang, ia mengadu nasib di kota dan kadang-kadang pulang tengah malam. Esok hari pagi-pagi buta, ia telah menghilang. Istrinya tak peduli asal dapurnya bisa tetap berasap.
Aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke warung. Limbuk kecil makin terpuruk tak tahu bagaimana bersihkan lumpur yang melekat. Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga. Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu.
Ketika tawaran Yu Silam datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya bayangan uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak.
Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi. Aku tahu, ia sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama?
Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan Monas seperti di buku pelajaran.
”Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Patokbeusi, negeri seribu impian… ” sergah Yu Silam memotong tanya ini dan ituku.
”Patokbeusi ini kota, Yu Silam?”
”Ssssttt… jangan pernah panggil aku dengan nama itu di sini!!” bentaknya. ”Aku Ningce.”
Ia melangkah pongah dengan dagu terangkat. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya dengan senyum dikulum. Nama yang aneh, apa nama kota memang aneh-aneh begitu?
”Ini daerah pantura, pantai utara Jawa,” jelasnya tak sabar.
”Kenapa belum terlihat pantainya?”
Yu Silam mendengus.
Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Silam. Menyiapkan air mandi, masak, termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Silam pulang kerja menjelang pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana.
Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Silam kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku selalu makan kenyang di rumahnya. Kadang-kadang Yu Silam pulang membawa fuyunghai. Nama yang aneh untuk masakan telor dadar dengan isi macam-macam. Enaknya luar biasa, simbok pasti belum pernah ketemu makanan seperti ini seumur hidupnya.
Dua tahun berlalu, Yu Silam mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu.
”Ganti namamu, tak ada Limbuk yang sekurus tubuhmu.” Gurau Yu Silam.
Aku terkekeh. Mungkin waktu aku lahir, bapak berharap aku semontok Limbuk, tokoh punakawan. Ternyata tak ada yang berubah. Yu Silam terus saja memanggil nama asliku.
”Apa kamu ndak mau jadi seperti aku tho, Mbuk?”
”Coba kamu ingat-ingat siapa yang rumahnya paling mentereng di desa kita selain Pak Lurah?”
Aku cuma termangu dan membisu. ”Jangan takut, kalau kau rajin suntik tidak akan apa-apa.” Yu Silam tersenyum manis sekali.
Aku masih diam saja. Tak tahu harus bicara apa.
”Toh kamu sudah pernah disentuh laki-laki.” Tak ada nada cemooh dalam suara Yu Silam, tapi hatiku serasa disilet-silet. Pedih dan perih.
Demikianlah akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini memang kantornya Yu Silam. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah memang usiaku yang masih belum cukup? Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang harus ditempuh untuk menjadi dongdot 1). Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih. Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ.
Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar. Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan beban hidup?
Kupikir jadi dongdot di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi. Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Kebanyakan mereka berasal dari daerah tak jauh dari sini. Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Silam yang satu-satunya pendatang. Pasti ada seseorang yang membawanya ke sini dulu.
”Jangan melamun saja, nanti piringnya pecah.” Mami menepuk bahuku perlahan.
Aku tersenyum malu, ketahuan bekerja tak sepenuh hati.
”Kamu mesti sabar dan tekun sampai tiba nanti saatnya senang-senang.”
Senyumku terhenti di tenggorokan.
Ia melangkah keluar dapur sambil berbisik di telingaku, ”Jangan mau digoda tamu, bilang Mami kalau ada apa-apa …”
Duh Gusti, perempuan setengah baya ini dari luar tampak perhatian dan penuh kasih. Sesungguhnya ia hanya mengincar keperawananku yang punya harga tinggi di sini. Seandainya ia tahu kisah sedihku.
Mami memang perhatian kepada anak-anak asuhnya. Tak bosan-bosan mengingatkan mereka kapan waktunya suntik. Kadang-kadang juga menegur cara berdandan dan berpakaian. Ada yang bilang Mami juga ’dosen’ alias dongdot senior yang masih menerima tamu sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Aku tak yakin, apa benar masih ada tamu dengan selera seperti itu. Sebab jadi primadona di sini tak bisa lama-lama, selalu saja ada yang baru datang, dan lebih segar.
***
Empat bulan aku di sini, Yu Silam jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari, malah kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek.
Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. ”Besok malam, mulailah belajar menemani tamu di meja.” Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di pipiku. ”Jangan mau diajak ke kamar dulu ya!” suaranya tetap rendah tapi tegas.
Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada juga yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga sebagai pesaing.
Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri.
”Kamu baru ya?” lelaki di samping menyenggolku dengan sikutnya.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Ngapain kamu di sini? Mending jadi istriku saja.” Senyumnya lebar seperti senyum keledai.
Untung Mami keburu menyelamatkanku. Ia pura-pura menarikku ke meja lain. Mungkin lelaki itu sudah terkenal buaya di sini. Paling buaya di dunia buaya.
Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum. Minggu depan tak mungkin tugasku masih sama. Kudengar beberapa tamu berbisik keras di telinga Mami sambil memandangiku, ”Berapa?” Jantungku berdetak sekeras musik di situ. Mami menggeleng dengan senyum menggoda, kelihatannya ia punya rencana tersembunyi.
***
Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Silam biasa berobat. Tanpa basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya.
”Lho, memangnya Yu sakit apa?”
”Pokoknya aku tinggal menunggu mati,” sergah Yu Silam kasar, memotong maksud tamu itu untuk menjelaskan. Percumalah aku bertanya jenis penyakitnya, paling-paling pakai bahasa asing yang tak kupahami.
Kemudian semua anjuran dua orang tamu tempo hari kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun aku harus tertular, itu pasti kersaning Gusti Allah 2). Yu Silam kelihatan lega aku tak tanya-tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di warung Mami.
Tanpa kesepakatan, pelan-pelan kuambil alih biaya pengeluaran di rumah Yu Silam. Biaya berobat masih ditanggungnya sendiri dari sisa uang tabungannya. Sisa bayaran dari Mami masih ada sedikit untuk pegangan dan dikirim ke simbok. Namun, aku harus bicara jujur pada Yu Silam.
”Yu, aku mau jadi buruh cuci saja.”
Yu Silam terbelalak. Pisang goreng yang sedang dimakannya seperti menyangkut di tenggorokan.
Takut-takut aku melanjutkan, ”Aku ndak bisa Yu, kerja macam itu.”
”Kamu mau tinggalkan aku kan?? Kamu mau balik ke desa ya??” Yu Silam meradang.
Aku tak berani menatap matanya. Bagaimana menjelaskannya? ”Sudah kucoba. Sudah kucoba Yu, tapi aku ndak bisa.” Jeritku dalam hati.
”Pergilah sejauh yang kau suka. Biarkan aku membusuk di sini!!!” teriaknya parau.
Kupeluk ia dengan air mata, ”Tidak Yu… tidak… kalaupun Yu harus mati akan kurawat dirimu baik-baik.”
Tak bisa kujelaskan dengan kalimat bahwa ia adalah malaikat penyelamatku. Aku tak bisa kembali ke desa lagi. Biarlah simbok hidup dengan adik lelakiku. Suatu hari akan kutinggalkan tempat ini untuk memulai hidup baru bersama Yu Silam. Di tempat yang benar-benar baru, bukan di desa. Aku tak bisa kembali ke sana. Pandangan perempuan-perempuan penumbuk padi itu tak pernah pergi dari benakku. Juga pandangan mata penuh birahi pemuda-pemuda desa.
Mereka tak pernah menganggapku manusia lagi sejak musibah itu. Sesuatu yang terpaksa kulakukan karena ancaman Lik Sol. Tak sanggup kuhadapi mereka nanti bila kulakukan perbuatan atas nama kelamin yang berkesadaran. Aku tak mau jadi dongdot.
***
Mami terbelalak waktu kuutarakan keinginan untuk tetap kerja di bagian dapur.
”Memangnya kau tak ingin uang banyak? Atau ada anak sini yang menjahatimu?” tanyanya beruntun.
Aku menggeleng cepat-cepat, ”Saya hanya ingin bantu bersih-bersih saja di sini. Jadi tukang cuci juga saya mau.”
Mami ikut menggeleng-geleng. Tubuhnya yang tak lagi langsing bergoyang-goyang. ”Tapi kenapa? Kenapaaa??” kedua tangannya terbuka lebar.
Aku menggeleng juga sambil tersenyum. Mami kelihatan tak puas, mungkin tak rela harga perawanku melayang terbang.
”Saya…saya… saya sudah tak perawan lagi, Mi…” bisikku pelan.
Perempuan setengah baya itu terbelalak, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak jadi.
”Saya korban perkosaan,” lanjutku lirih. Rasanya malu mengakui itu tapi di hati terasa lega luar biasa.
Mulut Mami terbuka dan bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia mengangguk lemah. Dengan latar belakang segelap itu, mungkin dipikirnya aku tak cukup sehat mental untuk melayani tamu-tamu di sini.
Aku melangkah dengan pasti menuju dapur. Aku siap kembali ke tugas lama, bersih-bersih, cuci piring, dan membuang sampah-sampah. Tapi setidaknya aku bukan sampah dan aku tak mau jadi sampah.
Panggilan lembut Mami menghentikan langkahku. Bibir Mami bergetar, suaranya mirip seperti erangan hewan yang terluka, ”Nasibmu sama seperti diriku dulu, Mbuk…”

Surat untuk ibu guru yang sekarang mendidik putraku


Ibu guru yang baik, saya titipkan anak saya kepada anda. Saya lakukan ini dengan ketulusan, kebanggaan dan perasaan was-was. Maklumlah sebagai orang tua, saya terlalu cemas dengan dirinya. Saya ingat masa-masa ketika ia baru hadir ke dunia ini; tangisan dan tawanya telah membuat kami semua tenggelam dengan perasaan haru. Kini waktunya ia bersekolah dan kami percayakan, putera kami sepenuhnya pada anda. Sebagaimana dulu ibu dan ayah saya mempercayakan saya pada asuhan anda ibu guru.

Ibu guru tahu, ia punya harta yang tak ternilai harganya, yaitu ke-terus-terangan. Kalua ia tak suka pada sesuatu ia tak ragu berpendapat. Ini adalah bakat alamiah yang dipunyai oleh semua anak. Saya ingin ibu menjaga sikapnya itu. Kami ingin ibu guru memandunya dan melatihnya untuk menjadi seorang anak yang berani bicara jujur dan terus terang. Lewat surat ini kami ingin berbagi pengalaman dan bertukar saran dalam memahami putera kami.

Pertama-tama, saya meminta ibu guru, untuk menjaga dan menghargai sikapnya itu. Ibu tahu, anak saya mungkin tidak tergolong pintar, tapi sikap keterus-terangan itu, jika dipahat dan diperkuat maka ia akan sama pintarnya dengan yang lain. Semangat anak saya akan menyala-nyala jika ibu guru murah dalam memuji dan memberi dukungan; dan akan menyusut jika ia terlalu banyak diremehkan dan dibohongi. Beritahukan padanya apapun yang ditanyakan dan kami berharap ibu tidak marah, kalau putera kami suatu saat mengkritik ibu guru. Pertanyaan adalah kesukaannya dan kami berharap ibu guru menjaganya dan tetap memberi iklim yang membuat kemampuannya bertanya itu hidup dan tumbuh.

Terus teranglah padanya tentang apa yang ibu guru ketahui. Kami ingin putera kami bisa belajar tentang kenyataan hidup yang sebenarnya. Walau kenyataan itu menyakitkan tapi katakanlah yang sesungguhnya pada mereka. Saya ingin ibu guru melatihnya untuk tetap optimis melihat realitas yang buram dan menyalakan api semangatnya untuk terus belajar. Sikap terus terang dari ibu guru akan memberinya kekuatan dalam melawan kejamnya realitas kehidupan dan sesekali berikan kepercayaan kecil padanya, untuk melakukan perkerjaan-pekerjaan tangan. Saya ingin ibu guru melatih kemandiriannya supaya tumbuh rasa percaya dirinya. Saya tidak ingin ibu guru menjadikan dirinya anak yang sempurna tapi tidak berpeluh keringat, ia harus bisa dan mampu melakukan pekerjaan tangan apapun.

Ibu guru yang baik, langkah anak kami yang masih rapuh ini butuh bimbingan dan arahanmu. Tolong beri dia semangat saat dirinya mencari jalan untuk maju, saat dia merangka ketika dia seharusnya berlari dan saat dia diam ketika anda tahu dia harus memimpin. Dia masih terlalu muda, jadi sesuatu yang wajar kalau dia tidak begitu konsisten. Dia masih belia, jadi sesuatu yang normal jika kadang terlalu nekad. Dia masih hijau, karenanya seringkali berpikir aneh-aneh. Jangan ibu guru memarahinya atau menjulukinya dengan nama-nama yang menyakitkan. Tolong berikan perlakuan yang sama pada anak kami maupun teman-temannya, bahwa kalau mereka semua murid-murid istimewa.

Jika ia punya kelemahan dan keterbatasan, tolong secara diam-diam ibu catat dan rangkum. Kelak katakan padanya sembari membantunya mengatasi masalah itu. Katakan juga pada kami sehingga kami ikut membantu dan bisa melibatkannya untuk memecahkan keterbatasan itu. Mengajari anak yang kini sedang menemukan identitas dan meraba harga dirinya memang tidak mudah, tapi karena itulah, kita bisa bentukan pengalaman dan pengetahuan.
Latihlah dirinya untuk berorganisasi, solidaritas dan cinta pada sesama. Latihlah dirinya untuk memahami persoalan yang lebih luas ketimbang kepentingan sendiri. Saya ingin ibu mengajarinya untuk berkorban dan memahat sikap kepedulian. Anak saya datang pada ibu dengan tekad untuk belajar. Mohon ibu guru jangan mengecewakannya. Jadikan masa-masa sekolah ini sebagai sesuatu yang menyenangkan, menarik dan menggairahkan baginya. Ajaklah dia sesekali keluar untuk melihat kalau pendidikan bukan hanya dari bangku ke bangku tapi juga lewat kenyataankeseharian.

Saya ingin ketika dia meninggalkan kelas ibu, dirinya memiliki keyakinan yang lebih atas kemampuan sendiri. Kelak ketika ia meninggalkan kelas ibu, saya berharap ibu bisa tekun membimbing dan mengarahkannya. Pada akhirnya, bantulah putera kamu menemukan harapan di atas bongkahan kehidupan bangsa yang buram dan menyakitkan ini.Tahukah ibu, tahun ini ibu akan menjadi salah satu seorang yang paling penting dalam hidupnya. Dia akan memutuskan untuk meniru atau menolak nilai-nilai yang ibu guru semaikan. Dia mungkin akan menghormati dan mengingat ibu sepanjang hayatnya, atau sebaliknya dia tidak lagi mengingat ibu dan merasa kecil hati atas setiap tindak tanduk ibu yang mungkin bertolak belakang dengan nilai yang ibu ajarkan. Sejujurnya, saya sebagai orang tua, ingin ibu bisa menjadi seseorang yang dikaguminya-tapi untuk ini, ibulah yang bisa menentukan.Oh ya, pada saat tahun ajaran berkahir, mohon berikan ucapan terimakasih dan pelukkan hangat padanya. Berterimakasihlah kepadanya telah menjadi bagian dari kehidupan ibu, sebagaimana saya sangat berterimakasih kepada ibu karena telah menjadi bagian dari kehidupan anak saya.

Kami tahu, diatas segala harapan kami, ibu guru sendiri didera oleh banyak masalah. Tuntutan akan kesejahteraan hingga status membuat kami semua juga ingin berbuat banyak untuk anda.Jadikan putera kami menjadi seorang yang kelak akan memahami profesimu dan kelak bsia berbuat banyak untukmu. Jangan ragu untuk meminta bantuan solidaritas maupun perjuangan dari kami. Karena kami tahu, tahun ini anda menjadi bagian dari kehidupan kami sekeluarga.

Salam
Dari kami sekeluarga.

naskah drama detik-detik proklamasi



SCENE I        : Berita Kekalahan Jepang

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito memerintahkan penghentian permusuhan terhadap sekutu, setelah sebelumnya yaitu pada tanggal 14 Agustus 1945 sekutu menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita tentang genjatan senjata yang dilakukan oleh Jepang ini disiarkan di radio jepang dari Tokyo. Ternyata siaran tersebut tertangkap di Indonesia dan Sutan Syahrir mendengarnya.

Sutan Syahrir          : Apakah kalian sudah mendengar berita kekalahan Jepang?
Sukarni                      : Belum, Bung . Benarkah itu? Apa yang terjadi dengan Jepang?
Sutan Syahrir          : Dari yang kudengar, Sekutu telah menjatuhkan bom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Oleh sebab itulah, Jepang melakukan genjatan senjata.
Chairul Shaleh         : Kalau begitu, berarti kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan.
Sukarni                      : Benar itu, Jepang sudah tak ada wewenang lagi di negeri kita. Kita harus memanfaatkan momen ini!

SCENE II      : Peristiwa Rengasdengklok

Babak 1          : Perdebatan golongan tuan dengan golongan muda

Setelah mendengar berita kekalahan Jepang, Chairul Shaleh segera merencanakan pertemuan dengan anggota golongan muda lainnya untuk membicarakan masalah proklamasi kemerdekaan. Pertemuan ini dilangsungkan di Jalan Pegangsaan Tinur No. 17 Jakarta pukul 20.00 WIB.

Chairul Shaleh         : Teman-teman sekalian, sudahkah kalian mendengar berita tentang kekalahan Jepang?
Wikana                      : Belum, kawan. Darimana engkau tahu tentang itu?
Chairul Shaleh         : Barusan saya dan Sukarni berkumpul dengan Syahrir, ia mendengar siaran radio Jepang yang mengumumkan berita tentang genjatan senjata itu.
Darwis                       : Berarti negeri kita sekarang dalam kondisi vacuum of power?
Chairul Shaleh         : Benar. Demikian, saya mengumpulkan kalian semua disini untuk membicarakan masalah itu. Kita harus memanfaatkan situasi ini untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Sukarni                      : Tepat sekali. Kalau begitu, kita harus membagi tugas. Wikana dan Chairul, kalian harus pergi ke kediaman Soekarno untuk menyampaikan kabar ini. Saya dan Bung Darwis akan memerintahkan anggota pemuda lainnya untuk merebut kekuasaan dari Jepang.

Kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta pukul 22.00 WIB. Terjadi Perdebatan serius antara golongan pemuda dengan Soekarno

Wikana                      : Kita harus memproklamirkan kemerdekaan sekarang, Bung!
Soekarno                  : Ini batang leherku, seretlah aku ke pojok itu sekarang dan potong leherku malam ini juga! Kamu tidak perlu menunggu hingga esok hari!
Chairul Shaleh         : Tapi ini saat yang tepat, Bung. Jepang sudah kalah oleh Sekutu dan tak ada kuasa lagi di negeri ini. Mengapa harus menunggu? Rakyat sudah banyak menderita akibat penjajahan ini.
Moh. Hatta              : Jepang adalah masa yang silam. Belum lagi kita harus menghadapi Belanda yang hendak kembali berkuasa di negeri ini. Jika Saudara tidak setuju dengan apa yang saya katakan, dan mengira diri Saudara telah sanggup menopang kekuatan sendiri, mengapa datang pada Soekarno dan memintanya untuk memproklamirkan kemerdekaan?
Chairul Shaleh         :Apakah kita harus menunggu janji Jepang untuk memerdekakan bangsa ini? Kita bisa, Bung. Kita harus bangkit dan memproklamirkan kemerdekaan sendiri. Mengapa harus menunggu janji manis itu? Jepang sendiri bahkan telah kalah dalam “Perang Suci” nya!
Soekarno                  : Kekuatan segelintir ini takkan mampu mengalahkan armada perang milik Jepang! Coba kau perlihatkan padaku, mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu? Apa tindakanmu untuk menyelamatkan wanita dan anak-anak jika ternyata terjadi pertumpahan darah? Bagaimana cara kita nanti untuk mempertahankan kemerdekaan? Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri.
Wikana                      : Tapi semakin cepat kita memproklamasikan kemerdekaan akan semakin cepat pula kita mengakhiri penderitaan rakyat yang sudah ditanggung selama ini. Inilah yang sudah ditunggu-tunggu bangsa kita, Bung.
Moh. Hatta              : Baiklah. Tapi berikan kami waktu untuk berunding sebentar.

Kemudian para anggota golongan tua yang berada di kediaman Soekarno langsung membicarakan permasalahan tersebut.

Moh. Hatta              : Bagaimana ini? Para pemuda menuntut untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Soekarno                  : Tapi kita tidak boleh gegabah, Bung. Kita butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya dengan matang agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Mr. Soebardjo        : Saya setuju. Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah menghadapi Sekutu yang hendak berniat kembali berkuasa di negeri ini. Selain itu, masalah kemerdekaan sebaiknya dibicarakan lagi dalam sidang PPKI 18 Agustus mendatang.
Iwa Kusumasumantri: Lalu bagaimana dengan pendapat golongan muda? Apa kita abaikan saja?
Djojo Pranoto         : Ya, lagipula mereka masih muda, pemikiran mereka terlalu pendek. Kita harus melihat ke depan, mempersiapkannya dengan matang. Kalau tidak bagaimana nanti jika semuanya berantakan?
Iwa Kusumasumantri: Baiklah , Bung. Berarti kita semua sudah sepakat.

Setelah selesai berunding, para golongan tua segera menemui para anggota golongan muda yang menunggu di luar ruangan.

Moh. Hatta              : Setelah kami berunding tadi, kami memutuskan untuk tidak tergesa-gesa mengenai hal proklamasi kemerdekaan. Hal ini masih akan dibicarakan lagi dalam sidang PPKI.

BABAK 2       : Penculikkan Soekarno dan Moh. Hatta oleh para pemuda.

Dengan berat hati mendengar keputusan tersebut, para pemuda pun meninggalkan kediaman Soekarno. Tetapi mereka tidak putus asa. Mereka pun menyusun strategi bagaimana membujuk Soekarno dan Moh. Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan sesegera mungkin. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengasingkan kedua tokoh itu ke Rengasdengklok agar terhindar dari desakan pemuda dan pengaruh Jepang di Jakarta.

Tanggal 16 Agustus 1945 Pukul 04.00 WIB, kediaman Soekarno

Chairul Shaleh         : Assalamualaikum.
Moh. Hatta              : Waalaikumsalam. Ada apa Saudara datang sepagi ini?
Darwis                       : Kami bermaksud membawa Anda dan Soekarno untuk ikut kami menuju tempat pengasingan.
Soekarno                  : Tempat pengasingan? Apa yang Saudara maksudkan?
Chairul Shaleh         : Ya, kami akan membawa kalian untuk diasingkan agar terhindar dari ancaman bentrok antara rakyat dan Jepang.
Moh. Hatta              : Baiklah, kami akan ikut.
Darwis                       : Sebaiknya Ibu Fatmawati dan anak Anda turut serta, Bung. Untuk menjamin keselamatan mereka.
Soekarno                  : Baiklah, saya akan mengajak mereka.

Hilangnya Soekarno dan Moh. Hatta secara misterius pagi itu, menimbulkan kepanikan di kalangan para pemimpin di Jakarta. Peristiwa ini baru diketahui oleh Mr. Ahmad Soebardjo pukul 08.00 pagi.

Mr. Soebardjo        : Apakah Saudara tahu keberadaan Soekarno dan Bung Hatta?
Wikana                      : Maaf, saya tidak tahu, Bung.
Mr. Soebardjo        : Katakanlah kepadaku dimana mereka sekarang, dan aku akan menjamin keselamatan mereka ketika kembali ke Jakarta, dan aku akan menjamin kemerdekaan untuk kalian esok harinya.
Sudiro                        : Akankah Anda bersumpah untuk itu?
Mr. Soebardjo        : Kau bisa percaya padaku, Nak. Jadikan nyawaku taruhannya.
Wikana                      : Baiklah, kami akan menunjukkan tempatnya, di Rengasdengklok.
Mr. Soebardjo        : (memanggil salah seorang pemuda) Hei, Nak! Tolong antarkan kami ke Rengasdengklok.
Yusuf Kunto             : Maaf, saya, Pak? Baik, kalau begitu naiklah (Mr. Soebardjo naik ke mobil beserta Wikana dan Sudiro kemudian berangkat menuju Rengasdengklok)

BABAK 3       : Perundingan dengan Soekarno di Rengasdengklok

Soekarno                  : Nah , jelaskan sekarang mengapa Saudara sekalian membawa kami kesini.
Chairul Shaleh         : Maafkan kelancangan kami, Bung. Ini demi keselamatan Anda.
Darwis                       : Kami ingin membicarakan masalah proklamasi kembali.
Moh. Hatta              : Bukankah tempo hari sudah kami katakan kepada kalian, masalah kemerdekaan masih akan dibicarakan dalam sidang PPKI?
Chairul Shaleh         : Memang benar adanya. Tetapi kami semua berpendapat, Mengapa menunggu untuk di merdekakan oleh Jepang? Mengapa menunggu hasil sidang PPKI, kalau kita bisa bergerak dengan kekuatan sendiri? PPKI itu bentukan Jepang, Bung. Kami ingin memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan dari Jepang.
Soekarno                  : Pendapat itu benar. Namun, kita masih terlalu dini untuk memproklamasikan kemerdekaan. Selain itu kita belum siap dan masih membutuhkan bantuan dari Jepang untuk merdeka.
Darwis                       : Bagaimana bila perkataan Jepang tentang kemerdekaan bangsa kita hanya janji manis belaka? Apa yang akan Anda lakukan?
Sukarni                      : Apakah akan selamanya menunggu janji itu, Bung? Kita harus memproklamasikan kemerdekaan sekarang juga, demi rakyat yang sudah bertahun-tahun terbelenggu oleh penjajahan di Tanah Air mereka sendiri! Mereka berhak bebas, dan sekaranglah saatnya!
Syodanco Singgih   : Tenang Saudara sekalian. Mari bicarakan semuanya dengan kepala dingin, tidak perlu ada ketegangan, ok?

(Syodanco Singgih membawa Soekarno dan Moh. Hatta menjauh dari perdebatan itu, kemudian mereka berunding)
Syodanco Singgih   : Saya mengerti perhitungan Anda berdua mengenai masalah proklamasi ini, kita memang belum mempertimbangkan semuanya dengan matang. Tapi saya percaya kita dapat bangkit dan memanfaatkan situasi ini. Kesempatan tidak akan datang dua kali, Bung . Apa yang mereka katakan benar adanya dan saya mendukung mereka.
Moh. Hatta              : Tetapi, apakah kita bisa? Akankah ini semua mungkin dilakukan?
Syodanco Singgih   : Tentu mungkin, Bung. Asal kita berusaha tentu akan kita temukan jalan keluarnya. Lagipula, para pemuda di Jakarta sedang menyusun strategi pertahanan untuk mencegah serangan dari Jepang ataupun sekutu yang tidak menerima proklamasi bangsa kita.
Soekarno                  : Baiklah, saya setuju. Kita akan memproklamasikan kemerdekaan tanpa ada campur tangan Jepang.

Pada pukul 17.30 WIB , rombongan dari Jakarta tiba di Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Moh. Hatta.

Mr. Soebardjo        : Syukurlah kalian semua baik-baik saja. Jadi bagaimana keputusannya?
Moh. Hatta              : Kami setuju kemerdekaan akan dilaksanakan tanpa campur tangan Jepang.
Mr. Soebardjo        : Lalu, kapan kita akan melaksanakannya? Menurut saya, bagaimana jika besok? Pasukan pemuda di Jakarta sudah bersiap.
Soekarno                  : Jika mungkin, ya kita akan melaksanakannya esok pagi.

Selesailah perundingan di Rengasdengklok. Semua anggota golongan tua maupun muda kembali ke Jakarta untuk membahas lanjut rencana proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945.

SCENE III    : Rumah Laksamana Maeda (Perumusan Teks Proklamasi)

Tanggal 16 Agustus 1945 pukul 23.00 WIB, rombongan tiba di Jakarta.

Mr. Soebardjo             : Bagaimana kita membicarakan naskah proklamasi untuk mendeklarasikan kemerdekaan kita?
Chairul Shaleh             : Kita butuh tempat untuk membahasnya, Bung. Tapi hari sudah malam dan pihak Jepang tak mungkin mengizinkan kita melakukan kegiatan sekarang, apalagi jika mereka tahu bahwa kita hendak membicarakan rencana proklamasi.
Mr. Soebardjo             : Saya punya ide. Kita akan meminjam rumah perwira Jepang, Laksamana Maeda.
(Rombongan kemudian berangkat ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No.1)

Mr. Soebardjo        : (mengetuk pintu)
Laksamana Maeda : Selamat malam, Ada apa, Bung?
Mr. Soebardjo        : Maaf kami mengganggu Anda malam-malam begini. Kami perlu tempat untuk membicarakan rencana kemerdekaan yang akan dilangsungkan esok hari.
Laksamana Maeda : Benarkah itu? Kalau begitu, masuklah. Saya turut gembira mendengar kabar ini . Silakan gunakan ruangan yang kalian butuhkan. Saya akan pergi istirahat dulu.
Chairul Shaleh         : Terimakasih, Pak Perwira.

Perumusan Teks Proklamasi dilakukan di rumah makan Maeda. Tiga eksponen pemuda yaitu Sukarni, Sudiro, dan B.M Diah menyaksikan Soekarno, Moh Hatta, dan Mr. Ahmad Soebardjo membahas perumusan naskah proklamasi.

Acara Perumusan naskah proklamasi berjalan lancar.Tidak ditemukan kesulitan untuk menemukan rumusan yang tepat. Sebagai hasil pembicaraan mereka bertiga, di perolehlah rumusan yang di tulis tangan oleh Soekarno.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, dibacakanlah rumusan naskah proklamasi untuk yang pertama kalinya di depan para hadirin yang berada di rumah Maeda yang langsung disetujui. Namun kemudian timbullah persoalan tentang siapa saja yang akan menandatangani naskah proklamasi.
Moh. Hatta              : Bagaimana jika naskah proklamasi Indonesia ditandatangani oleh anggota PPKI?
Chairul Shaleh         : Menurut saya, sebaiknya naskah ini jangan ditandatangani oleh anggota PPKI.
B.M Diah                   : Memang kenapa? Lantas siapa yang akan menandatanganinya?
Chairul Shaleh         : PPKI kan lembaga bentukkan Jepang . Kita sudah sepakat tadi untuk melaksanakan proklamasi tanpa campur tangan Jepang.
Mr. Soebardjo             : Kau benar, Nak. Bagaimana ini , Bung?
Soekarno                  : Adakah dari kalian yang punya pendapat untuk menyelesaikan masalah ini?
Sukarni                      : Bagaimana jika naskah ini ditandatangani oleh hadirin yang datang saat ini? Seperti Amerika ketika menandatangani teks deklarasinya.
Moh.Hatta               : Jangan, kita tidak boleh meniru. Kita harus berbeda dari bangsa lain.
Wikana                      : Lalu bagaimana, Bung Karno?
Soekarno                  : Karena ini semua berkat jasa-jasa Indonesia berarti “Atas nama bangsa Indonesia”.
Sukarni                      : Saya setuju, dan saya punya usul. Yang menandatangani teks cukup dua orang saja yaitu Anda dan Bung Hatta sebagai wakil dari bangsa Indonesia. Bagaimana?
Soekarno                  : Usul yang bagus . Bagaimana hadirin?
Hadirin (semua)      : Kami setuju!!!

Setelah  semuanya setuju, Soekarno memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik teks proklamasi

Soekarno                  : Tolong kau ketik teks proklamasi ini. Jagalah teks ini baik-baik.
Sayuti Melik             : Baik, Bung . (dengan segera mengetik teks tersebut)

Sayuti Melik pun mengetik teks tersebut. Semua persiapan proklamasi rampung pada pukul 04.30 WIB. Lalu, semua hadirin pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan gembira. Kemudian para pemuda mengirimkan kurir-kurir untuk menyampaikan bahwa saat proklamasi telah tiba. Mereka juga mengatur pelaksanaan penyiaran berita proklamasi kemerdekaan. Menyebarkan beberapa pamfleet ke penjuru Jakarta dan sekitarnya. Pengeras suara diusahakan adanya. Semua dilakukan agar rakyat dapat turut menyaksikan momen paling berharga untuk bangsa Indonesia.
Pada saat yang sama, Soekarno dan Ibu Fatmawati sampai di kediaman mereka dan berbincang sejenak.

Soekarno                  : Alhamdulillah akhirnya semua berjalan dengan lancar. Terimakasih ibu telah menemani saya di saat-saat yang cukup menguras pikiran ini.
Ibu Fatmawati         : Iya, terimakasih Gusti Allah yang telah memberikan jalan pada bangsa kita untuk memproklamasikan kemerdekaan. Oh iya pak, apakah kalian sudah merencanakan bagaimana proklamasi besok akan berlangsung?
Soekarno                  : Sudah, kita akan melaksanakan upacara bendera.
Ibu Fatmawati         : Tapi pak, bukankah kita belum punya bendera? Lantas bagaimana?
Soekarno                  : Ya ampun , Bapak sampai lupa, Bu. Kalau begitu bagaimana jika Ibu saja yang menjahitkan bendera?
Ibu Fatmawati         : Tapi Ibu tidak punya kain, Pak. Kain yang ada hanya kain merah dan putih. Apa tidak apa-apa?
Soekarno                  : Tentu saja. Buatlah bendera yang sederhana. Yang penting kita sudah berusaha untuk menyediakannya.
Ibu Fatmawati         : Baiklah, Pak. Dan, Ibu punya ide. Kita namakan saja bendera nya “Sang Saka Merah Putih”. Bagaimana?
Soekarno                  : Ide yang bagus. Ya, bendera pusaka “Sang Saka” dan warna nya merah putih , menjadi “Sang Saka Merah Putih” , Brilian!
Ibu Fatmawati         : Ya sudah, sebaiknya Bapak bersiap. Menyusun pidato yang nanti akan bapak bacakan.

SCENE IV     : Proklamasi Kemerdekaan

Hari Jum’at pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB di Jl. Pegangsaan Timur No.56 , dilangsungkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

dr. Muwardi                        : Bung, hari sudah siang, lebih baik kita segera melangsungkan upacara. Para pemuda yang sejak pagi menunggu sudah tidak sabar.
Soekarno                  : Sebentar, kita tunggu kedatangan Bung Hatta.
dr. Muwardi                        : Tapi bung..
Soekarno                  : Saya tidak akan membacakan proklamasi jika Hatta tidak ada. Kalau Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan membaca proklamasi itu sendiri!
Chairul Saleh           : Bung Karno, Bung Hatta sudah tiba. Upacara bendera bisa kita mulai.

Sesaat sebelum upacara dimulai…

Soekarno                  : Trimurti, tolong Anda kibarkan bendera Merah Putih ini sebagai tanda awal kejayaan bangsa ini. (sambil menyerahkan bendera)
Trimurti                     : Siap, Bung. Saya akan menyuruh anak didik saya untuk mengibarkannya. (memanggil Suhud dan Latief) Hei, kalian! Jaga baik-baik bendera ini. Kalian mendapat kehormatan untuk mengibarkan bendera ini untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.
Latief dan Suhud    : Siap, Komandan! Kami tak akan mengecewakan Anda.

Tiba saatnya Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia…

Tokoh-tokoh pejuang Indonesia telah hadir di lokasi. Di antaranya yaitu Mr. AA. Maramis, HOS Cokroaminoto, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantara, M. Tabrani dll.

Suasana menjadi sangat hening. Soekarno dan Hatta dipersilahkan maju beberapa langkah dari tempatnya semula. Soekarno mendekati mikrofon. Dengan suaranya yang lantang dan mantap, Soekarno pun membacakan pidato pendahuluan sebelum beliau membacakan teks proklamasi.

Pidato Soekarno :

               Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta Saudara hadir disini, untuk menyaksikan peristiwa maha penting dalam sejarah bangsa kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang umtuk merdeka. Bahkan telah beratus-ratus tahun lamanya, gelombang aksi kita tidak putus dalam berjuang untuk memerdekakan negeri ini. Kita jatuh bangun menyusun kekuatan untuk menggapai cita-cita Indonesia bebas dari penjajahan bangsa lain. Semalam, kami para pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari berbagai penjuru bergabung untuk memusyawarahkan dan permusyawaratan itu seiya-sekata berkata: inilah saatnya bagi kita untuk mengobarkan api revolusi kemerdekaan Indonesia. Saudara sekalian! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya

Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 45
“Atas nama bangsa Indonesia”

Soekarno-Hatta

Kemudian di kibarkanlah bendera Sang Saka Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya. Hadirin turut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia tersebut.