Selasa, 25 September 2012

Tangan-tangan buntung


Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin.
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.

Kumpulan tag HTML

<!– –>Memberi komentar atau keterangan. Kalimat yang terletak pada tag kontiner ini tidak akan terlihat pada browser
<a href>Membuat link ke halaman lain atau ke bagian lain dari halaman tersebut
<a name>Membuat nama bagian yang didefinisikan pada link pada halaman yang sama
<applet>Sebagai awal dari Java applets
<area>Mendefinisikan daerah yang dapat diklik (link) pada image map
<b>Membuat teks tebal
<basefont>Membuat atribut teks default seperti jenis, ukuran dan warna font
<bgsound>Memberi (suara latar) background sound pada halaman web
<big>Memperbesar ukuran teks sebesar satu point dari defaultnya
<blink>Membuat teks berkedip
<body>Tag awal untuk melakukan berbagai pengaturan terhadap text, warna link & visited link
<br>Pindah baris
<caption>Membuat caption pada tabel
<center>Untuk perataan tengah terhadap teks atau gambar
<comment>Meletakkan komentar pada halaman web tidak tidak akan nampak pada browser
<dd>Indents teks
<div>Represents different sections of text.
<embed>Menambahkan sound or file avi ke halaman web
<fn>Seperti tag <a name>
<font>Mengganti jenis, ukuran, warna huruf yang akan digunakan utk teks
<form>Mendefinisikan input form
<frame>Mendefinisikan frame
<frameset>Mendefinisikan attribut halaman yang akan menggunakan frame
<h1> … <h6>Ukuran font
<head>Mendefinisikan head document.
<hr>Membuat garis horizontal
<html>Bararti dokumen html
<i>Membuat teks miring
<img>Image, imagemap atau an animation
<input>Mendefinisikan input field pada form
<li>Membuat bullet point atau baris baru pada list (berpasangan dengan tag <dir>, <menu>, <ol> and <ul> )
<map>Mendefinisikan client-side map
<marquee>Membuat scrolling teks (teks berjalan) – hanya pada MS IE
<nobr>Mencegah ganti baris pada teks atau images
<noframes>Jika browser user tidak mendukung frame
<ol>Mendefinisikan awal dan akhir list
<p>Ganti paragraf
<pre>Membuat teks dengan ukuran huruf yg sama
<script>Mendefinisikan awal script
<table>Membuat tabel
<td>Kolom pada tabel
<title>Mendefinisikan title
<tr>Baris pada tabel
<u>Membuat teks bergaris bawah

Rabu, 18 Juli 2012

Kabut Ibu


Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.
Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.
Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.
Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah.
Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.
”Kotor kenapa, Bah?”
Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya banjir.”
”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyongsong abah.
Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.
Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.
Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.
Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah.
Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang.
Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu.

Selasa, 15 Mei 2012

Mengenang Kota Hilang


Maka lumpur pun datang membasuh wajah kota itu.
(Hasan Aspahani, 2006)
Itulah bait pertama yang kau tulis dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya, ketika perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun aku menyambut gembira, atas suratmu yang kau kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku mengerti perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yang aku rasakan dalam setiap detak nadimu. Tetapi aku tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dalam batin kami yang menderita.
Aku pun tak berharap kau datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dengan mata hatimu, aku sudah gembira. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yang kau tuliskan dengan tinta yang ragu-ragu keluar dari penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yang aku kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dalam kata-kata terang. Karena kata-kata terang sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tidak hanya dalam lumpur tetapi dalam timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yang kini tinggal di kota lumpur, telah banyak mereka-reka dan mengais-ngais kata-kata terang tetapi gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dengan bahasa bersayap, tetapi aku merasakan irisan-irisan makna yang kau hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, aku tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam melihat derita kami, daripada kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yang sok pintar.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, kini hilang. Kini yang tertinggal hanya kenangan dan harapan-harapan. Tak ada yang tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yang gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering dan pucuk-pucuk pohon yang meranggas. Tak ada yang tersisa.
”Kini semuanya telah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi kalau kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dengan batu. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku kini hanya ada satu jalan, jalan maut!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yang bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yang berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yang ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, karena di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tidak memberi uang barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kau akan menemukan jalan yang bercabang-cabang, mirip labirin. Kau harus pandai memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yang bercabang-cabang itu sebenarnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, ketika kau memutuskan untuk datang ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, seperti yang kau tulis, ”Maka lumpur pun datang, dan penduduk kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau harus menjadi superhero yang gagah berani. Kau harus menjadi manusia tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yang mampu terbang dan menembus perut bumi. Tetapi kau bisa juga menjadi Sangkuni yang pandai bersilat lidah dan tipu muslihat.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan mudah masuk dengan gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yang haus hiburan. Mereka anak-anak yang tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dengan leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kau jangan berharap telah sampai ke kotaku. Mungkin kau masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kau masih jalan di tempat. Tak ada yang tahu berapa jauh jalan yang harus ditempuh hingga sampai ke kotaku.
Tak ada yang tahu. Kotaku telah hilang dalam peta. Barangkali, kotaku telah berada dalam perut paus atau terkubur dalam perut bumi, atau masih dalam genggaman monster warna-warni, juga tak ada yang tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dari dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada harapan, selain harapan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata dan hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yang lebih maut dari jalan maut. Jangan asal melangkah, karena di setiap jengkal, arti langkahmu sangat menentukan nasibmu. Dan kau tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yang menjadi lintah, belut, dan bahkan ubur-ubur, karena salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin daripada hidup dalam kubangan lumpur.
”Aku menyesal sebenarnya, tak bisa menuliskan kabar ini secara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran telah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yang berbelit-belit dan sulit dipahami maknanya. Kebenaran dan kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yang silau oleh kepalsuan yang berlapis kebenaran.
Kami tidak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yang memilih menjadi dan hidup dalam lumpur daripada menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dalam bait suratmu yang kau suarakan melalui hatimu, kau tulis dengan gamblang: ”Semula ada yang mengira mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher dan sejak itu menjadi bisu….”
Pada mulanya memang itulah yang kami tempuh. Kami diam dan pasrah ketika air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Ketika air meninggi dan lumpur semakin mengendap, kami harus mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yang memilih menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya aku dan orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tidak tahulah, lama-lama arus air dan lumpur begitu deras dan pekat. Kami yang dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dalam pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu muncul sekelompok ikan dengan gigi dan sisik tajam, yang dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yang kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya selalu muncul dalam bayang-bayang masa lalunya yang kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”
Kamu tahu, kau tulis dalam degup jantungmu yang paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan uang recehan yang berbiak dan nyaris memenuhi genangan.”
Apakah kau masih ingin ke kotaku? Lewat suara hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini telah berdiri papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kau jangan percaya dengan bahasa terang itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kau tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dalam kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun kini banyak orang melihat dan mencari-cari sisa kota kami, mereka tidak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dalam lautan lepas.
Kau tahu, mereka yang mencari sisa-sisa kota kami berdiri di atas bukit yang membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yang membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu mencoba mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yang tahu. Kami benar-benar jauh dalam genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sangat tahu, dalam teriakan bahasa hatimu yang aku tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar dan bertangan banyak sekali. Sebagian dari tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung dan pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi dan tak pernah berdiam, kerja siang malam….”
Kini apakah pantas kotaku, rumahku, namaku, kau cari-cari dalam timbunan lumpur yang semakin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja telah menjadi purba! Tugu kuning tempat Marsinah diculik juga telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kau ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada suatu saat nanti kotaku akan kau temukan dalam pesta pora para monster menyambut kemenangan dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami telah dipurbakan. Kami diendapkan dalam waktu dan pada suatu saatnya nanti, kota kami digali dari kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dalam pesta dewa ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dengan nama yang ditulis dengan huruf Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, karena sikap teguh kami untuk tidak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dalam kenangan yang mengekal dan banal.
Pesanku, kalaupun pada suatu saat nanti kotaku tak ditemukan, maka kenanglah kotaku seperti dalam suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.

Kamis, 26 April 2012

Bukit Mawar


Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus, bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar, karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya, dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?” ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah, maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3 sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami. Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor, dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
”Apanya yang kenapa?” jawabnya sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit. Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.
”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau Anggrek Hitam, misalnya?”
”Sudah pernah dan ketika anthurium merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja, tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.
”Mereka mau membangun mal,” ucapnya dingin.
”Maksudmu?”
”Mereka memaksaku untuk menjual tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa tidak dilepas.”
”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau melepas.”
”Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam mawar-mawarku?”
***
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk menanam mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—, dan rasa cinta yang tulus, ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat bodoh.
***
Beberapa bulan berlalu, aku tidak main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
”Dua hari yang lalu, ada orang ke rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu pasti Arjuna.
”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.” tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
”Ada pesan apa?”
Ndak ada…dia cuma bilang, ’o, ya, sudah’…terus pulang.”
***
Lama setelah itu, aku masih saja belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi, sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada mawarnya.
***
Siang itu di proyek, yang kurasakan adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo, penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…;coba sebut satu saja yang mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah. Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.
***
Entah mengapa, berita tv siang itu menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami. Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor, percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
”Andin, coba kalau kamu punya tanah seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
”Mmm…bukan itu jawaban yang aku harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami ’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang semeja. Kulihat Andin salah tingkah.
”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…”
”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat sepermainan…”
”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…”
Di perjalanan pulang, aku membisu. Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku, sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama sekali tak kusadari.
”Makanya, jangan asyik sendiri. Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel. Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di rumah.
***
Sejak peristiwa makan malam itu, aku jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku, tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong. Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’ yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan pelepah pisang.
***
Itulah yang kulakukan. Dan ketika aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan, memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.
”Apa yang akan kamu lakukan dengan bukit ini?”
”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda penjual bunga di makam ini.
”Terima kasih, kamu mau datang,” ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
”Aku suka ini. Aku gembira ada yang bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?
”Aku tidak melakukan apa-apa…”
”Kau keluar dari gurita raksasa, itu adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”
”Meskipun gila?” godaku.
”Plus sinting dan nekat,” tambahnya diikuti gelak tawa.
***
Setelah dia jelaskan apa yang akan dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan kanannya tergenggam sebatang mawar.
Sebuah ritual pun dimulai.